Selasa, 17 Juni 2008

Konflik Sosial Masyarakat

KonFlik Sosial

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

1.1 Daftar isi

1.Faktor penyebab konflik

  • Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.

Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

  • Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.

Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

  • Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

  • Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

2. Jenis-jenis konflik

Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :

  • konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
  • konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
  • konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
  • konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).

3.Akibat konflik

Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :

  • meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
  • keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
  • perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
  • kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
  • dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:

  • Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
  • Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.

4.Contoh konflik

Penanganan konflik

1.TUNTUTAN MASYARAKAT ADAT

DAN ALTERNATIF SOLUSI PENANGANAN

KONFLIK SOSIAL

ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA

Maret 2000

2.TUNTUTAN MASYARAKAT ADAT

DAN ALTERNATIF SOLUSI PENANGANAN

KONFLIK SOSIAL

I. Pendahuluan

Selama 30 tahun terakhir pembangunan kehutanan di Indonesia berorientasi pada

konglemarasi. Hutan hanya dipandang sebagai suatu sumber ekonomi bagi penghasil

devisa negara dan kurang memandang fungsi hutan sebagai fungsi sosial. Berbagai

kebijakan pemerintah yang memberikan hak pengelolaan hutan kepada BUMN dan

swasta dengan peraturan-peraturan yang banyak dan ketat, namun kurang porsinya

pada bidang sosial budaya masyarakat dalam pengelolaan hutan, mengakibatkan

timpangnya kesejahteraan masyarakat dan tersisihnya masyarakat lokal dalam

pengelolaan hutan. Di satu sisi negara memperoleh devisa yang sangat besar dari

pembangunan kehutanan, namun ironisnya pendapatan yang besar ini tidak dibarengi

dengan pemerataan pembangunan khususnya belum menyentuh masyarakat sekitar

hutan.

Perasaan tidak puas dari masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan telah

berakibat terjadinya konflik sosial yang makin marak sekarang ini. Kondisi sosial

politik seperti sekarang ini telah menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya berbagai

tuntutan masyarakat terhadap para pengusaha HPH/HPHTI. Pengusaha saat ini

dihadapkan pada kondisi yang dilematis. Di satu sisi masyarakat memandang

pengusaha HPH/HPHTI sebagai sumber dari segala permasalahan yang ada,

sementara di sisi lain pengusaha dalam upayanya untuk menyelesaikan masalah

terbentur pada kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sampai

saat ini pemerintah dinilai belum begitu tanggap dan memprioritaskan penanganan

konflik sosial, dimana hal ini tentunya merupakan bagian dari tanggung jawab

pemerintah. Seringkali cenderung para pengusaha HPH/HPHTI saja yang disalahkan.

Sikap ini dapat pula menimbulkan dampak yaitu seakan-akan opini dan tudingan

masyarakat yang negatif pada para pengusaha HPH/HPHTI adalah benar demikian.

Konflik sosial yang terjadi saat ini harus benar-benar dipikirkan jalan keluarnya.

Pada saat ini tuntutan konsumen terhadap produk-produk kehutanan yang berasal dari

hutan yang dikelola secara lestari (memiliki sertifikat ekolabel) semakin meningkat.

Kelestarian fungsi sosial adalah salah satu kriteria yang dinilai dalam sertifikasi

bidang kehutanan disamping dua faktor lainnya yaitu kelestarian fungsi produksi dan

kelestarian fungsi ekologi/lingkungan. Apabila konflik sosial tidak dapat diredam

tentunya akan menentukan lulus tidaknya produk-produk kehutanan di pasaran dunia.

Hal ini pasti akan mempengaruhi kondisi ekonomi Nasional Indonesia.

Paradigma dan sistem pengelolaan hutan harus dievaluasi dan perlu pelibatan

masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan selanjutnya. Selain itu upaya untuk

meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar

hutan, perlu memperoleh porsi yang layak didalam pengelolaan hutan; disamping

upaya kelestarian dan pemanfaatan multiguna dari hutan.

II. Inventarisasi tuntutan masyarakat kepada pengusaha pemegang

HPH/HPHTI

Konflik sosial terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Aceh, Riau,

Jambi, Palembang, Kaltim, Kalteng, Kalbar, Maluku, dan Irian. Status kawasan hutan

dan keadilan asas manfaat atas hutan menjadi faktor penting penyebab terjadinya

konflik sosial ini. Konflik ini diantaranya dipicu oleh kondisi sosial politik bangsa

Indonesia saat ini. Reformasi telah berdampak pada sikap dan perilaku masyarakat

yang secara tegas dan terang-terangan menuntut sesuatu yang dianggap sebagai hak

mereka yang selama ini mereka merasa tidak mendapatkan manfaat sama sekali.

Ledakan tuntutan masyarakat juga dipicu oleh fakta kesenjangan ekonomi yang

dirasakan masyarakat, tidak diakuinya hak adat, kurangnya penghormatan terhadap

kultur sosial budaya masyarakat, minimnya dialog yang dilakukan perusahaan, dan

kebijakan yang masih bersifat top down. Tuntutan masyarakat kepada pengusaha

pemegang HPH/HPTI sangat beragam dan nilanya sangat besar, diantaranya berupa :

a. Denda adat dari kerusakan hutan yang dihitung dari sejak perusahaan berproduksi

b. Fee produksi yang dihitung dari sejak perusahaan berproduksi

c. Levy and grant yang dihitung dari sejak perusahaan berproduksi.

d. Ganti rugi kerusakan kuburan dan pohon kehidupan/tanam tumbuh

e. Klaim tanah adat yang luasannya berdasarkan batas alam.

Dari semua tuntutan-tuntutan tersebut, masyarakat selalu menginginkan uang tunai

sebagai bentuk tuntutan mereka dan apabila dikalkulasikan maka nilainya bervariasi

dari ratusan juta sampai dengan miliaran rupiah, sehingga dengan nilai tuntutan yang

demikian besarnya dan sudah tidak rasional tentunya sulit dipenuhi oleh para

pemegang HPH/HPHTI. Di sisi lain para pengusaha merasa sudah memenuhi

kewajiban-kewajibannya pada pemerintah.

III. Alternatif-alternatif cara penyelesaian masalah konflik sosial

Sampai saat ini pemecahan masalah konflik sosial masih dilakukan oleh pengusaha di

daerah dengan mengadakan dialog yang mengikutsertakan masyarakat dan

pemerintah. Beberapa alternatif pemecahan masalah konflik sosial telah ditawarkan

oleh berbagai pihak terkait dalam penyelesaian masalah. Antara lain adalah :

a. Fee produksi/kompensasi produksi

�� Sampai saat ini pengusaha terpaksa memberikan fee produksi kepada

masyarakat sesuai dengan tuntutan mereka.

�� Pemberian fee produksi mudah dilakukan serta jelas penghitungannya. Bagi

pengusaha pemberian fee produksi ini tidak menjadi masalah asalkan jelas

ketentuannya dan besarnya fee masih rasional.

�� Pemberian fee produksi ini dirasakan kurang dapat memberikan manfaat

secara adil kepada seluruh masyarakat sekitar hutan dan juga tidak

memberikan manfaat jangka panjang, karena biasanya setelah mendapatkan

fee produksi masyarakat akan cenderung konsumtif untuk acara-acara sesaat

seperti pesta adat yang berlebihan.

�� Pemberian fee produksi dikhawatirkan akan menimbulkan konflik intern

terutama menyangkut pembagian hasil yang mereka dapatkan.

�� Pemberian fee produksi akan menimbulkan dampak terjadinya tuntutan

lainnya, dengan dasar perhitungan yang berbeda karena belum adanya

ketentuan baku yang mengatur dan mengikat.

�� Pemberian fee produksi akan memancing tuntutan dari kelompok masyarakat

lain yang lebih berhak dan berlapis.

�� Dengan diberikannya uang tunai kepada masyarakat dinilai tidak akan

memberdayakan masyarakat, masyarakat tidak akan berpikir bagaimana

menggunakan uang tersebut untuk meningkatkan taraf hidup mereka tetapi

mereka akan selalu bergantung pada fee produksi yang akan mereka peroleh

dari pengusaha.

�� Dengan pemberian fee produksi ini masyarakat juga tidak secara langsung

terlibat dalam pengelolaan hutan, sehingga budaya asli mereka sedikit demi

sedikit akan terhapus.

b. Pemberian Modal Kerja pada Koperasi

�� Sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha, masyarakat, dan pemerintah

daerah, koperasi dipilih sebagai salah satu bentuk upaya pemberdayaan

masyarakat. Dalam kaitannya dengan penanganan konflik sosial, pengusaha

disepakati untuk memberikan modal kerja pada koperasi.

�� Pemberian modal koperasi ini juga dapat diikuti dengan pengalihan sebagian

kegiatan pengelolaan hutan kepada koperasi/lembaga adat. Melalui

koperasi/kelembagaan masyarakat adat sebagai suatu wadah, beberapa

aktivitas di dalam pengelolaan hutan dapat dilakukan oleh masyarakat seperti

misalnya penyediaan bibit, suplai bahan makanan dan bahan bakar minyak.

�� Kebijaksanaan untuk memberikan/hibah saham pada koperasi dan

ditempatkannya tokoh masyarakat adat dalam jajaran komisaris perusahaan,

juga merupakan alternatif solusi pemecahan masalah. Namun tetap diperlukan

pemahaman dan kesiapan masyarakat lokal agar jangan dimanfaatkan oleh

para pemilik modal.

�� Masih ada perbedaan cara pandang antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintah daerah untuk menyelesaikan konflik dengan pemberian modal

koperasi kepada masyarakat. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Surat

Dirjen PHP No. 493/VI-PHT/200 tentang implementasi Pemda Kaltim dengan

mewajibkan setiap pengusaha HPH/HPHTI untuk memberikan modal kerja

koperasi berupa dana segar sebesar Rp. 200 juta masih harus ditinjau kembali.

c. Hutan kemasyarakatan

�� Pelaksanaan HKM sudah ada dasar hukum yang jelas yaitu SK Menteri

Kehutanan No 677/Kpts II/1998.

�� Dalam pemberian HPHKM kepada masyarakat ditetapkan waktu pengusahaan

adalah 35 tahun dengan persyaratan koperasi sebagai wadah kelembagaannya.

Dengan ketentuan ini sebenarnya kurang mengena pada akar permasalahan

yaitu status kawasan hutan. Dengan diakuinya hak adat atas kawasan hutan

seharusnya tidak diberlakukan waktu pengusahaan karena hak atas

pengelolaan hutan tersebut adalah di tangan masyarakat. Koperasi sebagai

persyaratan kelembagaan seharusnya tidak diperlukan apabila pengakuan hak

adat atas kawasan hutan diakui oleh pemerintah dan juga pengajuan untuk

mendapatkan HKM sudah secara otomatis tidak diperlukan lagi.

�� Bagi masyarakat sekitar hutan yang bukan merupakan masyarakat adat, tetapi

mereka memerlukan hutan sebagai sumber kehidupan mereka, pemberian

HKM mungkin dapat dijadikan sebagai alternatif dalam penyelesaian konflik

sosial ini. Luasan yang dijadikan HKM masih menjadi masalah. Dengan

luasan yang tidak optimal dikhawatirkan akan berdampak pada kelestarian

hutan, masyarakat hanya akan mengambil hasil hutan kayu dan

mengkonversinya menjadi lahan pertanian. Pemberian HKM juga masih

menemui kendala dalam hal pembatasan lahan yang dapat menimbulkan

konflik antar kelompok masyarakat itu sendiri.

�� Dengan kondisi sosial politik seperti sekarang ini, pemberian HKM

dikhawatirkan pula akan mengundang kaum opportunis untuk dapat memanen

hasil hutan khususnya kayu tanpa memperhatikan aspek kelestarian.

d. Pengakuan Hutan adat

�� Status kawasan hutan sangat diperlukan oleh pemegang HPH/HPHTI dan juga

masyarakat untuk memberi jaminan keamanan berusaha. Saat ini status

kawasan hutan menjadi salah satu sumber konflik sosial di lapangan. Selain

itu sistem tenurial (kepemilikan lahan) hutan masyarakat menjadi salah satu

poin yang dinilai dalam sertifikasi, yaitu batas antara kawasan konsesi dengan

kawasan komunitas harus terdelineasi secara jelas. Untuk memantapkan status

kawasan hutan secara hukum dan fakta lapangan yang akan dikelola oleh

pengusaha pemegang HPH, pemerintah perlu melakukan inventarisasi dan

penataan ulang batas-batas kawasan hutan negara dengan hutan adat, dan

private land. Kendala yang dihadapi saat ini adalah masalah keuangan dan

sumberdaya manusianya.

�� Pengalihan sebagian saham perusahaan kepada masyarakat sesuai dengan luas

lahan hutan yang dituntut sebagai hutan adat adalah salah satu alternatif yang

dapat dipakai untuk menyelesaikan konflik sosial saat ini. Dengan pengalihan

sebagian saham perusahaan kepada masyarakat adalah salah satu upaya

pencapaian win-win solution. Masyarakat akan memperoleh manfaat langsung

dari hutan adat karena mereka dapat terlibat langsung dalam pengusahaan

hutan. Perusahaan dapat melakukan penetapan batas partisipatif yang

mengikutsertakan masyarakat, yang akan membuat enclave hutan adat di

wilayah HPH/HPHTI. Yang menjadi masalah adalah perusahaan harus

berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, termasuk

luas kawasan hutan yang diusahakan.

�� Apabila pemerintah telah mengakui hak adat ini, pengusaha langsung

bernegosiasi dan bermitra dengan masyarakat adat yang memiliki hutan.

Pengusaha hanya berkewajiban membayar fee produksi kepada pemerintah.

e. Percepatan diberlakukannya UU otonomi daerah dan perimbangan

keuangan antara pusat dan daerah

�� Dengan diberlakukannya otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara

pusat dan daerah sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun

1999 diharapkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat lebih merata

dan adil, sehingga berbagai konflik yang diantaranya bersumber pada

keadilan asas manfaat atas hutan dapat diatasi

�� Dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang akan

diberlakukan, daerah akan mendapatkan perimbangan keuangan yang sangat

besar. Diharapkan perimbangan keuangan ini sampai ke desa sekitar hutan

yang ada HPH/HPHTInya, sehingga dapat meredam konflik sosial yang terjadi

di HPH/HPHTI.

�� Pemberlakuan otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan

daerah harus diikuti oleh kesiapan sumberdaya manusia di daerah.

�� Sumber-sumber penerimaan daerah yang sangat banyak dan kewenangan

daerah yang sangat besar dikhawatirkan akan mencetak raja-raja kecil di

daerah.

�� Penetapan daerah dalam rangka pemberlakuan otonomi daerah harus benarbenar

mempertimbangkan kemampuan ekonomi dan potensi daerah. Apabila

penetapan ini tidak dilakukan secara serius, maka dikhawatirkan akan

menimbulkan disintegrasi bangsa. Daerah dengan potensi dan kemampuan

ekonomi yang berlimpah dikhawatirkan akan merasa tidak memerlukan daerah

lain. Sedangkan daerah dengan potensi dan kemampuan ekonomi yang minim

akan timbul masalah baru yang mungkin lebih serius dari kondisi sekarang ini.

�� Konflik antar daerah dikhawatirkan timbul karena batas pengelolaan kawasan

hutan, pembagian kawasan hutan ditetapkan berdasarkan batas ekologi/alam

tidak berdasarkan batas administratif.

f. PMDH sebagai penunjang

PMDH yang selama ini telah dilakukan dapat dijadikan sebagai penunjang bagi

pengusaha dalam upaya untuk memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat

di dalam dan sekitar hutan. Yang perlu diperhatikan adalah program-program

dalam PMDH harus direncanakan secara partisipatif (bottom up) sehingga sesuai

dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, tidak seperti sekarang ini yang masih

memakai sistem top down dalam penentuan program PMDH

.

IV. Prioritas Penanganan Konflik

Mengingat tuntutan masyarakat dan konflik sosial semakin serius dan meluas, maka

diperlukan satu tindakan pemecahan masalah yang bersifat rescue yang dapat diterima

oleh masyarakat, tetapi juga harus tetap pada arahan yang jelas untuk menyelesaikan

secara tuntas di masa yang akan datang.

A. Penanganan konflik sosial jangka pendek

Dari alternatif-alternatif cara pemecahan masalah yang telah dikemukakan di atas,

pemberian fee produksi per m3 kayu bulat dengan besaran yang logis dapat diberikan

untuk meredam berbagai macam tuntutan masyarakat, meskipun dampak negatifnya

sangat disadari oleh pengusaha. Dalam hal ini, harus ada ketetapan dari pemerintah

ataupun PERDA yang mengatur cara penghitungan dan besarnya fee produksi,

sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi pengusaha. Disamping itu, untuk

mengantisipasi timbulnya tuntutan berikutnya, pendekatan intensif terhadap

masyarakat sangat diperlukan. Diperlukan juga pemberian pengertian kepada

masyarakat bahwa perusahaan juga memerlukan keamanan berusaha sehingga dapat

memberikan manfaat kepada masyarakat. Pengalihan sebagian kegiatan pengusahaan

hutan antara lain melalui modal koperasi dan saham kepada masyarakat juga dapat

dilakukan sebagai penunjang untuk menciptakan suasana yang harmonis antara

masyarakat dengan pengusaha.

Dalam hal penanganan konflik sosial dengan pemberian uang tunai ini, pemerintah

masih belum mendukungnya.

B. Penanganan konflik sosial jangka panjang

Hal yang sangat penting dalam pengelolaan hutan di masa depan adalah pergeseran

sikap dan pemahaman dari semua stakeholder dalam hal pemanfaatan hutan. Budaya

pengelolaan hutan yang menitikberatkan pada keuntungan ekonomi seperti yang

selama ini dianut oleh pemerintah dan pengusaha, perlu lebih ditingkatkan porsinya

pada bidang sosial budaya masyarakat serta kelestarian hutan. Melalui pendekatan

sosial budaya masyarakat yang demikian beragam, diharapkan dapat diketahui

keinginan dan aspirasi murni dari masyarakat. Dan dengan pendekatan sosial budaya

inilah disarankan untuk merubah atau menyesuaikan sistem pengelolaan hutan untuk

lebih melibatkan masyarakat di dalam pengusahaan hutan.

V. Langkah operasional dalam upaya percepatan peningkatan kesejahteraan

masyarakat

Kesejahteraan dapat dilihat dari dua sisi pemenuhan yaitu lahir dan bathin. Secara

lahiriah atau fisik, apabila alternatif di atas telah dipilih dan dapat berjalan dengan

baik, langkah lanjutan apa yang kiranya diperlukan.

Dalam kondisi seperti sekarang ini, dimana tuntutan masyarakat sudah banyak yang

mengarah pada tindakan anarki, sementara secara yuridis formal belum ada peraturan

yang dapat digunakan sebagai landasan untuk mengatasi konflik sosial di lapangan,

para pengusaha tetap memilih untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian seperti

yang telah diuraikan di atas, sepanjang hal tersebut masih logis dan masih dapat

diupayakan oleh perusahaan dan berprinsip pada win-win solution, mengingat

perusahaan perlu jaminan keamanan untuk dapat tetap berusaha.

Dengan pemberlakuan upaya penanganan konflik sosial seperti tersebut di atas,

diduga akan banyak dana atau uang tunai yang beredar di desa dan masyarakat

pedalaman. Dana yang akan terkumpul antara lain berasal dari :

a. Modal kerja koperasi

b. Deviden dari saham koperasi di perusahaan

c. Fee produksi

d. Dana dari pembagian DR,PSDH, dan PBB

e. Sektor Jasa

f. PMDH

g. Pendapatan asli daerah

Terjadinya akumulasi dana yang sangat besar di masyarakat, tentunya memerlukan

pemikiran bagaimana dan siapa yang akan mengatur dana tersebut. Apakah kepala

Adat atau Kepala Desa dipercaya oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan

mampu memegang peran tersebut ? Ataukah koperasi telah siap untuk menjalankan

fungsinya ? Sumber daya manusia adalah faktor yang terpenting dalam masalah ini.

Semua maklum bahwaa sumber daya manusia di pedalaman masih tertinggal, oleh

karenanya perlu crash program di bidang pelatihan, ketrampilan dan pendidikan.

Peran untuk mengatur dan mengambil tanggung jawab dalam pengelolaan dana yang

terkumpul untuk masyarakat sekitar hutan mungkin dapat dipegang oleh suatu

lembaga atau paling tidak pemerintah daerah harus berperan aktif dalam masalah ini.

Pengusaha mungkin dapat mengambil peran sebagai pihak yang membantu mengatur

dan membantu melaksanakan pembangunan fisik di daerah untuk lebih meningkatkan

ekonomi desa atau daerah sekitar hutan.

Mengalirnya dana yang sangat banyak ke desa/pedalaman dikhawatirkan akan

berdampak negatif dan mengakibatkan pergeseran budaya masyarakat, seperti

timbulnya sifat materialistis. Hal ini kiranya juga harus dipikirkan bagaimana untuk

mengantisipasinya.

Perasaan sakit hati yang selama ini dirasakan oleh masyarakat pedalaman yang juga

merupakan sumber konflik sosial di lapangan, harus segera dihapus. Hujatan yang

menyakitkan seperti masyarakat pedalaman sebagai penebang liar, peladang liar, suku

terasing, dan suku yang terbelakang harus segera diklarifikasi. Oleh karena itu

kiranya perlu disosialisasikan tentang budaya bermitra antara pengusaha dengan

masyarakat sekitar hutan. Hal ini dimaksudkan untuk memunculkan rasa saling

percaya dan saling menghargai yang mungkin kondisi seperti ini dapat membantu

percepatan pembangunan desa sekitar hutan dalam rangka peningkatan kesejahteraan

lahir dan batin.

Dalam menyikapi masalah konflik sosial ini diperlukan pengertian dari semua pihak.

Apabila hanya berdebat dan berseteru dalam hal pegangan Hukum Nasional,

sedangkan kenyataan di lapangan bahwa masyarakat tidak lagi bisa menerimanya,

maka tentunya konflik sosial ini akan berkepanjangan.

Jadi kiranya semua pihak harus bisa mengalah untuk sama-sama menjadi pemenang.

Semoga percepatan pembangunan desa, pembangunan ekonomi pedesaan dan

peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat lokal/pedalaman berhasil dan

bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Jakarta, Maret 2000

Tidak ada komentar: